Senin, 10 April 2017

Modifikasi motor: dari Hobi Jadi Sumber Nafkah


Di halaman sebuah bengkel di rumah toko (ruko) berlantai tiga di salah satu sudut kawasan Palmerah, Jakarta Barat, setiap waktu tampak beragam motor unik yang diparkir berjajar di depan ruko.
Ada motor yang setangnya meliuk seperti tanduk kerbau, dengan ban besar. Ada pula motor Jepang model lawas, namun berubah tampilan dengan ban 'berpaku' serta knalpot menjulur.
Baru Motor Sport atau disingkat BMS, adalah nama bengkel tersebut. Sehari-hari mereka melayani permintaan orang yang ingin motornya dimodifikasi menjadi beragam bentuk.
Ariawan Wijaya, pemilik BMS, mengatakan calon pelanggannya bukanlah orang-orang yang semata-mata menginginkan alat transportasi untuk kebutuhan sehari-hari.
"Orang pakai motor kan untuk kebutuhan. Tapi kalau sekarang, kebutuhannya untuk hobi dan lifestyle. Jadi orang itu makin lama makin kreatif, makin aneh, makin nyeleneh. Tapi layak dipakai," kata Ariawan kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Ariawan, yang menyebut dirinya sebagai pekerja seni, mengaku tidak memodifikasi motor agar tunggangan tersebut bertambah cepat, melainkan agar sedap dipandang. Lantaran apa yang indah dan sedap dipandang sangat subyektif, beberapa motor kreasi BMS pun sangat unik.
Sebuah motor yang diparkir di lantai dua bengkel BMS, misalnya. Motor tersebut memiliki corak Candi Borobudur dari bahan tembaga, kuningan, dan aluminium.
"Ada pelanggan yang ingin punya motor dengan tema khas Indonesia. Saya lalu menawarkan konsep Borobudur. Dia setuju, tapi barang yang dipakai harus barang Indonesia dan mencerminkan karakter Indonesia," kata Ariawan.
Untuk mewujudkan kreasi itu, Ariawan mengatakan pelanggannya merogoh kocek dalam jumlah besar. Namun, dia menolak menyebut nominalnya.
"Ratusan juta?" saya bertanya.
Ariawan hanya mengembangkan senyum.

'Kalau sudah hobi, susah'

Beberapa pelanggan yang ditemui di bengkel BMS mengaku rela menghabiskan puluhan juta rupiah untuk memodifikasi motor.
Morenos, misalnya. Dia mengubah motor Kawasaki era 1970-an menjadi bentuk 'scrambler'—istilah modifikasi motor yang memasang dua ban 'berpaku' sehingga motor dapat melaju di permukaan tak rata. Untuk biaya modifikasi ditambah motor aslinya, dia menghabiskan Rp175 juta.
Ada pula Feris, yang memodifikasi Honda CBR 1.000 dengan tampilan motor balap. Dia total merogoh kocek sebesar Rp180 juta.
"Kalau sudah hobi, susah. Istri di rumah juga ngoceh-ngoceh. Motor juga bukan dipakai untuk ngebut, tapi saya lebih ke arah fashion. Ada kepuasan tersendiri melihat motor. Klimaks rasanya," tutup Feris.

Membatasi pelanggan

Biaya modifikasi memang tak bisa dibilang murah. Sebuah motor dengan kapasitas mesin 150cc, sebagai contoh, memerlukan biaya Rp15 juta hingga Rp25 juta.
"Spare part yang bikin mahal. Ongkos pengerjaan sih sama saja. Sering kali ketidaktersediaan suku cadang tertentu di Indonesia membuat kami harus mengimpor suku cadang tersebut. Itu yang bikin modifikasi mahal dan pengerjaannya lama," ujar Ariawan.
Kendati mahal, bisnis modifikasi motor menurut Ariawan, terus berkembang.
Setiap kali pameran modifikasi motor digelar, besaran transaksi tercatat mencapai belasan hingga puluhan miliar rupiah, katanya.
Di bengkelnya, Ariawan mengklaim calon pelanggan terus berdatangan setiap hari. Namun dia tidak menerima semua pesanan begitu saja.
"Orang yang ingin menjadi pelanggan banyak, tapi yang kita tolak juga cukup banyak. Jadi saya nggak terima semua motor. Kita batasi. Untuk motor kecil, dalam waktu satu bulan, maksimal pengerjaannya sekitar tiga unit saja. Pertama, tempat kita tidak terlalu besar. Yang kedua, kalau pengerjaan terlalu banyak, pasti nggak bisa mengontrol kualitas. Itu sudah pasti," tegas Ariawan.

Manajemen keuangan tambal sulam

Selain memaksimalkan manajemen waktu, kiat Ariawan dalam mengelola bengkel modifikasi adalah rapih dalam manajemen keuangan. Pantangan baginya untuk menjalankan manajemen keuangan tambal sulam.
"Yang salah adalah proses tambal sulam. Maksudnya, ambil DP untuk proyek A, tapi malah untuk ngebayarin proyek B. Nanti proyek C masuk, uangnya untuk proyek A. Itu salah. Kita di sini sudah kita pisahin. DP proyek A masuk, kita kerjakan proyek A. Jadi nanti nggak ada uangnya kurang, nggak bisa. Kalau memang tidak ada DP masuk, kita tidak kerjakan," papar Ariawan.
Berbekal manajemen waktu dan manajemen keuangan yang baik, Ariawan dapat mengembangkan usahanya dari toko yang hanya melayani penjualan suku cadang pada 2008, menjadi bengkel modifikasi dengan omzet ratusan juta rupiah setiap bulan.
"Di bisnis ini, kalau manajemen waktu bagus, manajemen keuangan bagus, itu biasanya dalam waktu setahun, dua tahun, sudah balik modal," kata Ariawan. (sumber: BBC Indonesia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar