Kamis, 24 Agustus 2017
Smart City Perlu Manusia yang Smart Pula
Pengembangan Smart City membutuhkan manusia smart (cerdas) sebagai penggunanya. Hal ini disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM Erwi Agus Purwanto mengenai digalakkannya pengembangan smart city di Indonesia.
Pengembangan smart city kini memang menjadi salah satu prioritas Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dirjen Otoda Soni Sumarsono menyatakan pemerintah melalui Kemendagri telah memberikan instruksi kepada kepala pemerintahan daerah untuk mengembangkan wilayahnya sebagai smart city sesuai dengan kesiapan dan masalah yang dihadapi.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM, Erwan Agus Purwanto, mengatakan bahwa pengembangan smart city tak hanya membutuhkan software dan hardware yang cerdas tetapi juga manusia sebagai pengguna yang cerdas. Pengguna merupakan elemen krusial sementara teknologi hanyalah sebagai alat untuk memudahkan pengelolaan kota.
Dari penelitian yang dilakukan UGM untuk penyusunan peraturan presiden tentang smart city, Erwan mengatakan bahwa manusia cerdas yang akan bisa menyukseskan smart city adalah mereka yang menguasai beberapa aspek sosial.
“Orang-orang di dalam kota pintar memiliki peran penting yaitu pada aspek sosial yang ada di perkotaan dan kapasitas SDM yang ada kota memiliki berbagai macam kreativitas, inovasi terobosan, dan juga menerima berbagai macam pluralitas,” terangnya di acara Dialog Publik ‘Smart City: Menembus Batas Komunikasi, Membangun Indonesia’ di Hotel Grand Sahid Jaya Jakarta, Rabu (24/8/2017).
Terjerat medsos
Penelitian tersebut juga menemukan bahwa masyarakat dan birokrat Indonesia masih belum bisa disebut smart people karena beberapa aspek.
Data menunjukkan bahwa jumlah warganet Indonesia yang terjerat UU ITE 2008 hingga 2016 masih tinggi, 285 orang. Erwan menyebutkan bahwa 56 persen orang yang terjerat peraturan tersebut karena mengunggah status di Facebook.
“Ini menunjukkan kondisi masyarakat Indonesia terkait bagaimana pengetahuannya terhadap hukum. Smart city masih jauh dari harapan,” sambungnya.
"Masyarakat juga bisa didorong membuat konten positif, mengajak selebriti untuk terlibat dalam program ini, memberdayakan jaringan masyarakat sipil, dan aktivis sosial untuk ikut meningkatkan literasi dunia maya,” pungkasnya.
Selain itu, terkait minat baca anak-anak, data Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2015 menunjukkan Indonesia masih berada pada posisi yang cukup bontot. Indonesia ada di posisi 64 dari 72 negara.
“Indonesia masih berada di rangking bawah untuk rata-rata waktu baca. Rata-rata waktu baca secara internasional UNESCO 5-6 jam sedangkan kalau di Indonesia masih 2-4 jam,” lanjutnya.
Literasi digital
Erwan mengusulkan pemerintah melakukan program peningkatan literasi media digital baik dari atas ke bawah maupun sebaliknya. Ia pun menyebutkan bahwa di Eropa, program ini sudah dimulai sejak kecil. Tujuannya, agar mereka bisa menjadi warganet yang baik.
“Tugas pemerintah Otoda untuk mengembangkan berbagai macam program yang bersifat dari atas atau dari bawah. Pemerintah bisa merancang literasi digital dengan memasukkannya sebagai mata pelajaran di SD, SMP atau SMA dan kampus," kata dia.
Sementara itu menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia tahun 2016, jumlah pengguna internet di Indonesia kini telah mencapai 52 persen atau 132 juta orang.
Sebanyak 67,2 juta orang (50,7 persen) mengakses melalui perangkat genggam dan komputer. Sementara 63,1 juta orang (47,6 persen) mengakses dari smartphone. Sisanya, 2,2 juta orang (1,7 persen) mengakses hanya dari komputer. (bpp/cnni)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar